Senin, 30 Maret 2015

Biografi B.J Habibie

Biografi B.J Habibie
Presiden ketiga Republik Indonesia, Bacharuddin Jusuf Habibie dilahirkan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, pada tanggal 25 Juni 1936. Beliau merupakan anak keempat dari delapan bersaudara, pasangan Alwi Abdul Jalil Habibie dan RA. Tuti Marini Puspowardojo. Habibie yang menikah dengan Hasri Ainun Habibie pada tanggal 12 Mei 1962 ini dikaruniai dua orang putra yaitu Ilham Akbar dan Thareq Kemal. Masa kecil Habibie dilalui bersama saudara-saudaranya di Pare-Pare, Sulawesi Selatan. Sifat tegas berpegang pada prinsip telah ditunjukkan Habibie sejak kanak-kanak. Habibie yang punya kegemaran menunggang kuda dan membaca ini dikenal sangat cerdas ketika masih menduduki sekolah dasar, namun ia harus kehilangan bapaknya yang meninggal dunia pada 3 September 1950 karena terkena serangan jantung saat ia sedang shalat Isya.

Tak lama setelah ayahnya meninggal, Ibunya kemudian menjual rumah dan kendaraannya dan pindah ke Bandung bersama Habibie, sepeninggal ayahnya, ibunya membanting tulang membiayai kehidupan anak-anaknya terutama Habibie, karena kemauan untuk belajar Habibie kemudian menuntut ilmu di Gouvernments Middlebare School. Di SMA, beliau mulai tampak menonjol prestasinya, terutama dalam pelajaran-pelajaran eksakta. Habibie menjadi sosok favorit di sekolahnya.

Karena kecerdasannya, Setelah tamat SMA di bandung tahun 1954, beliau masuk di ITB (Institut Teknologi Bandung), Ia tidak sampai selesai disana karena beliau mendapatkan beasiswa dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan untuk melanjutkan kuliahnya di Jerman, karena mengingat pesan Bung Karno tentang pentingnya Dirgantara dan penerbangan bagi Indonesia maka ia memilih jurusan Teknik Penerbangan dengan spesialisasi Konstruksi pesawat terbang di Rhein Westfalen Aachen Technische Hochschule (RWTH) Ketika sampai di Jerman, beliau sudah bertekad untuk sunguh-sungguh dirantau dan harus sukses, dengan mengingat jerih payah ibunya yang membiayai kuliah dan kehidupannya sehari-hari. Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1955 di Aachean, 99% mahasiswa Indonesia yang belajar di sana diberikan beasiswa penuh. Hanya beliaulah yang memiliki paspor hijau atau swasta dari pada teman-temannya yang lain Musim liburan bukan liburan bagi beliau justru kesempatan emas yang harus diisi dengan ujian dan mencari uang untuk membeli buku. Sehabis masa libur, semua kegiatan disampingkan kecuali belajar. Berbeda dengan teman-temannya yang lain, mereka; lebih banyak menggunakan waktu liburan musim panas untuk bekerja, mencari pengalaman dan uang tanpa mengikuti ujian.

Beliau mendapat gelar Diploma Ing, dari Technische Hochschule, Jerman tahun 1960 dengan predikat Cumlaude (Sempurna) dengan nilai rata-rata 9,5, Dengan gelar insinyur, beliau mendaftar diri untuk bekerja di Firma Talbot, sebuah industri kereta api Jerman. Pada saat itu Firma Talbot membutuhkan sebuah wagon yang bervolume besar untuk mengangkut barang-barang yang ringan tapi volumenya besar. Talbot membutuhkan 1000 wagon. Mendapat persoalan seperti itu, Habibie mencoba mengaplikasikan cara-cara kontruksi membuat sayap pesawat terbang yang ia terapkan pada wagon dan akhirnya berhasil.

Setelah itu beliau kemudian melanjutkan studinya untuk gelar Doktor di Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean kemudian Habibie menikah pada tahun 1962 dengan Hasri Ainun Habibie yang kemudian diboyong ke Jerman, hidupnya makin keras, di pagi-pagi sekali Habibie terkadang harus berjalan kaki cepat ke tempat kerjanya yang jauh untuk menghemat kebutuhan hidupnya kemudian pulang pada malam hari dan belajar untuk kuliahnya, Istrinya Nyonya Hasri Ainun Habibie harus mengantri di tempat pencucian umum untuk mencuci baju untuk menhemat kebutuhan hidup keluarga. Pada tahun 1965 Habibie mendapatkan gelar Dr. Ingenieur dengan penilaian summa cumlaude (Sangat sempurna) dengan nilai rata-rata 10 dari Technische Hochschule Die Facultaet Fuer Maschinenwesen Aachean.

Rumus yang di temukan oleh Habibie dinamai "Faktor Habibie" karena bisa menghitung keretakan atau krack propagation on random sampai ke atom-atom pesawat terbang sehingga ia di juluki sebagai "Mr. Crack". Pada tahun 1967, menjadi Profesor kehormatan (Guru Besar) pada Institut Teknologi Bandung. dari tempat yang sama tahun 1965. Kejeniusan dan prestasi inilah yang mengantarkan Habibie diakui lembaga internasional di antaranya, Gesselschaft fuer Luft und Raumfahrt (Lembaga Penerbangan dan Angkasa Luar) Jerman, The Royal Aeronautical Society London (Inggris), The Royal Swedish Academy of Engineering Sciences (Swedia), The Academie Nationale de l'Air et de l'Espace (Prancis) dan The USAcademy of Engineering (Amerika Serikat). Sementara itu penghargaan bergensi yang pernah diraih Habibie di antaranya, Edward Warner Award dan Award von Karman yang hampir setara dengan Hadiah Nobel. Di dalam negeri, Habibie mendapat penghargaan tertinggi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Ganesha Praja Manggala Bhakti Kencana.

Langkah-langkah Habibie banyak dikagumi, penuh kontroversi, banyak pengagum namun tak sedikit pula yang tak sependapat dengannya. Setiap kali, peraih penghargaan bergengsi Theodore van Karman Award, itu kembali dari “habitat”-nya Jerman, beliau selalu menjadi berita. Habibie hanya setahun kuliah di ITB Bandung, 10 tahun kuliah hingga meraih gelar doktor konstruksi pesawat terbang di Jerman dengan predikat Summa Cum laude. Lalu bekerja di industri pesawat terbang terkemuka MBB Gmbh Jerman, sebelum memenuhi panggilan Presiden Soeharto untuk kembali ke Indonesia.

Di Indonesia, Habibie 20 tahun menjabat Menteri Negara Ristek/Kepala BPPT, memimpin 10 perusahaan BUMN Industri Strategis, dipilih MPR menjadi Wakil Presiden RI, dan disumpah oleh Ketua Mahkamah Agung menjadi Presiden RI menggantikan Soeharto menjadi Presiden Republik Indonesia ke 3. Soeharto menyerahkan jabatan presiden itu kepada Habibie berdasarkan Pasal 8 UUD 1945. Sampai akhirnya Habibie dipaksa pula lengser akibat refrendum Timor Timur yang memilih merdeka. Pidato Pertanggungjawabannya ditolak MPR RI. Beliau pun kembali menjadi warga negara biasa, kembali pula hijrah bermukim ke Jerman.

Pada tanggal 22 Mei 2010, Hasri Ainun Habibie, istri BJ Habibie, meninggal di Rumah Sakit Ludwig Maximilians Universitat, Klinikum, Muenchen, Jerman. Ia meninggal pada hari Sabtu pukul 17.30 waktu setempat atau 22.30 WIB. Kepastian meninggalnya Hasri Ainun dari kepastian Ali Mochtar Ngabalin, mantan anggota DPR yang ditunjuk menjadi wakil keluarga BJ Habibie. Ini menjadi duka yang amat mendalam bagi Mantan Presiden Habibie dan Rakyat Indonesia yang merasa kehilangan. Bagi Habibie, Ainun adalah segalanya. Ainun adalah mata untuk melihat hidupnya. Bagi Ainun, Habibie adalah segalanya, pengisi kasih dalam hidupnya. Namun setiap kisah mempunyai akhir, setiap mimpi mempunyai batas.

Sebagian Karya beliau dalam menghitung dan mendesain beberapa proyek pembuatan pesawat terbang :
1.    VTOL ( Vertical Take Off & Landing ) Pesawat Angkut DO-31.
2.    Pesawat Angkut Militer TRANSALL C-130.
3.    Hansa Jet 320 ( Pesawat Eksekutif ).
4.    Airbus A-300 ( untuk 300 penumpang )
5.    CN - 235
6.    N-250
Dan secara tidak langsung turut berpartisipasi dalam menghitung dan mendesain:
· Helikopter BO-105.
· Multi Role Combat Aircraft (MRCA).
· Beberapa proyek rudal dan satelit.
Sebagian Tanda Jasa/Kehormatannya :
1.    1976 - 1998 Direktur Utama PT. Industri Pesawat Terbang Nusantara/ IPTN.
2.    1978 - 1998 Menteri Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia.
3.    Ketua Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi / BPPT
4.    1978 - 1998 Direktur Utama PT. PAL Indonesia (Persero).
5.    1978 - 1998 Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam/ Opdip Batam.
6.    1980 - 1998 Ketua Tim Pengembangan Industri Pertahanan Keamanan (Keppres No. 40, 1980)
7.    1983 - 1998 Direktur Utama, PT Pindad (Persero).
8.    1988 - 1998 Wakil Ketua Dewan Pembina Industri Strategis.
9.    1989 - 1998 Ketua Badan Pengelola Industri Strategis/ BPIS.
10.  1990 - 1998 Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia/lCMI.
11.  1993 Koordinator Presidium Harian, Dewan Pembina Golkar.
12.  10 Maret - 20 Mei 1998 Wakil Presiden Republik Indonesia
13.  21 Mei 1998 - Oktober 1999 Presiden Republik Indonesia

Sumber: http://tgkboy.blogspot.com/2013/01/biografi-bj-habibie-tokoh-nasional.html#biografi-bj-habibie-tokoh-nasional.html?s=2&_suid=1427716132810042324243735289296

bahasa inggris

A state regulator generates controversy

DESPICABLE criminals, eye-popping sums of money and doughty defenders of the law are a marketable mix, as any comic-book author can attest. They also tend to feature prominently in the speeches of Benjamin Lawsky, the head of New York’s Department of Financial Services (DFS). The agency is said to be about to agree on a settlement with Deutsche Bank for its alleged part in the manipulation of LIBOR, a benchmark interest rate. If it does, expect another stentorian statement.
The DFS was created from the merger of two existing state regulators in 2011, at the behest of Andrew Cuomo, New York’s governor. He appointed Mr Lawsky, his former chief of staff, to run it. Although the Federal Reserve, the Federal Deposit Insurance Corporation and federal prosecutors typically take the lead in keeping banks honest, any big international bank must have an operation in New York—and it is Mr Lawsky who hands out most licences for that. This has allowed the DFS to elbow in on investigations of all manner of wrongdoing, and along with America’s national regulators, extract massive fines.
In 2012 Mr Lawsky inserted himself into negotiations between other regulators and Standard Chartered Bank over transactions it facilitated that may have violated American sanctions on Iran. Although the bank did not admit to any crime, it ended up paying $640m in settlements to the DFS. Subsequent triumphs include similar deals with Bank of Tokyo-Mitsubishi UFJ (which paid $565m in relation to transactions involving Iran), Credit Suisse ($715m, tied to tax evasion by clients), BNP Paribas ($2.2 billion, related to both Iran and Sudan) and Commerzbank ($610m, tied to Iran again). Penalties have also been levied on a handful of American firms for various infractions. DFS has raised $5.3 billion in this way in just three-and-a-half years.
Mr Lawsky, in turn, has become a figure of some controversy, especially for foreign firms, which believe they have been hit particularly hard because they lack domestic political advocates. The firms he pursues complain that the fines are arbitrary, but that they dare not dispute them, since they cannot risk losing all-important licences. The assumption that Mr Lawsky’s crusade against financial crooks is a precursor to a campaign for political office is almost universal. After all, in addition to working for Mr Cuomo, he also served as legal counsel to Charles Schumer, New York’s senior senator. Both Mr Cuomo and another recent governor, Eliot Spitzer, made their careers by prosecuting wayward moneymen; so did Rudolph Giuliani, a recent mayor of New York city.
Past state regulators concentrated on duller supervisory matters. But Mr Lawsky, who has also worked as a prosecutor, has a wider vision for the DFS. Explaining his intervention in the Standard Chartered case, Mr Lawsky once said: “We felt the system needed a shock.” It “got all the regulators more focused,” he added—the sort of statement that makes less showy officials scowl. They contend that the DFS is a legal lightweight, exploiting cases developed by other agencies.
Mr Lawsky is an innovator in several respects, however. He makes much of his efforts to hold individuals to account for financial misdeeds, something federal authorities have tried but failed to do in the wake of the financial crisis. The DFS has no power to prosecute, but BNP, Commerzbank, Credit Suisse and RBS have all agreed to dismiss senior executives as part of their settlements with it. Ocwen, a firm which administers mortgages, agreed to part company with the chairman of its board.
Mr Lawsky also has an eye for controversial new subjects. He has spoken repeatedly about the need to fight cyber crime and to keep tabs on alternative payment systems such as bitcoin. The DFS’s authority over insurers gives it some sway in health care; in recent speeches Mr Lawsky has said his agency will play a “crucial” role in the implementation of Obamacare.
Scalded domestic banks, meanwhile, are mulling swapping their state charters for national ones to escape Mr Lawsky’s supervision. Foreign institutions are looking for ways to minimise their business in New York. But such radical steps would take time, and by then Mr Lawsky will surely have moved on to grander things.

·         the agency (present future)
·         the DFS was created (past continous)
·         he appointed mr lawsky (past tense)
·         this has allowed (PP)
·         DFS has raised (PP)
·         penalties have also (present perfect)
·         which believe (PPC)
·         the firms (present tense)
·         the assumption(PT)
·         he has spoken (present perfect)
·         after all (present continous)